Thursday, July 29, 2010

Suara Wanita

Wahai isteri-isteri Nabi, kamu semua bukanlah seperti mana-mana perempuan yang lain kalau kamu tetap bertaqwa. Oleh itu janganlah kamu berkata-kata dengan lembut manja (semasa bercakap dengan lelaki asing) kerana yang demikian boleh menimbulkan keinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya (menaruh tujuan buruk kepada kamu), dan sebaliknya berkatalah dengan kata-kata yang baik (sesuai dan sopan).(al-Ahzab 32)

Pertama wanita dilarang berbicara dengan lelaki yang bukan mahram tanpa ada keperluan yang sangat penting, apalagi dengan suara yang lemah lembut dan nada yang manis. Tetapi hendaknya wanita itu berbicara dengan suara yang tegas, dengan tingkah laku yang terhormat, agar tidak ada yang salah menafsirkan mereka, atau tidak ada yang mempunyai fikiran buruk terhadap mereka.

Imam Qurtubi menulis dalam tafsirnya mengenai ayat di atas sebagai berikut : “Allah swt. Memerintahkan kepada wanita-wanita muslimah agar berbicara secara terus terang dan ringkas kepada lelaki yang bukan mahram. Nada suara mereka sama sekali tidak lemah lembut dan manis seperti wanita-wanita jalanan dan wanita-wanita jahiliyah terdahulu yang berbicara dengan lelaki dengan nada suara yang manis. Seorang wanita hendaklah sangat berhati-hati ketika sedang berbicara kepada lelaki yang bukan mahram walaupun mereka adalah saudara iparnya sendiri. Sebaiknya ia berbicara dengan nada suara yang tegas tidak berteriak.”(Qurtubi)

Mufti Muhammad syafii menulis dalam tafsirnya bahwa perkataan falaa takhdha’na bil qaul bermaksud bahwa walaupun ketika itu sangat perlu untuk berbicara dengan lelaki yang bukan mahram, tetapi wanita harus berusaha menghindari nada suara yang lemah lembut dan menarik yang merupakan sebagian dari tabiat wanita. Apa yang dimaksud disini bahwa ia tidak boleh berbicara sedemikian rupa sehingga menarik atau membuat terpesona orang yang diajak bicara, sebagaimana firman Allah swt. Fayath ma’al ladzii fii qalbihii supaya orang yang di dalam hatinya ada penyakit tidak bangkit nafsunya.

`penyakit` di sini menunjukkan kepada nifaq di dalam arti keseluruhan atau sebagian. Orang yang benar-benar munafiq mudah dikenal karena mempunyai kecenderungan kearah maksiat yang juga merupakan bagian dari kemunafiqan. Jika Seseorang benar-benar beriman, ia tidak pernah berfikir untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan syariat agama.

Maksud utama pada bagian pertama dari perintah ini adalah ditujukan kepada kaum wanita untuk tetap memakai hijab dan menghindari lelaki ghair mahram yang lemah imannya yang boleh jadi tidak mempunyai harapan, atau mempunyai ketamakan akan kenikmatan dari mereka.

Setelah ayat ini diturunkan, sebagian isteri-isteri Rasulullah saw. Menutup mulut mereka dengan tangan untuk menyembunyikan suara mereka ketika berbicara dengan ghair mahram.

Amr bin Ash ra. Meriwayatkan dari Nabi saw. :
Sesungguhnya Nabi saw. Melarang wanita berbicara kepada lelaki yang bukan mahram tanpa izin suaminya.(Hr. Thabrani)


Rujukan : Hijab Wanita Muslimah – Dr. Muhammad Ismail M.

*ayat quran guna terjemahan bahasa malaysia.

Tuesday, July 20, 2010

Is it Necessary to Follow an Imaam? Can I not Refer Directly to the Hadith

In this belated era, one often hears questions about the need to follow an Imaam or a Mazhab. The ear-catching slogan of “DIRECTLY” following the Qur`aan and Hadeeth is heard more frequently. The answer to such questions and the reality behind these slogans is highlighted by the following eye-opening incident, which has been reported by Imaam Ahmad bin Hambal and Imaam Tahaawi (rahmatullahi `alayhima). Once `Urwah bin Zubair (rahmatullahi `alayh) addressed `Abdullah bin `Abbaas (radhiyallahu `anhuma) thus:

“You have led the people astray Oh Ibnu `Abbaas!”

When `Abdullah bin `Abbaas (radhiyallahu `anhuma) inquired about the reason, `Urwa (rahmatullahi `alayhi) mentioned a ruling pertaining to the laws of Hajj which `Abdullah bin `Abbaas (radhiyallahu `anhuma) had issued contrary to the ruling of Abu Bakr and `Umar (radhiyallahu `anhuma). `Abdullah bin `Abbaas (radhiyallahu `anhuma) replied: “This is the exact reason why you have been led astray. I am narrating from Rasoolullah Sallallahu Alayhi Wasallam and you are opposing it with the view of Abu Bakr and `Umar (radhiyallahu `anhuma).” `Urwah (rahmatullahi `alayh) said to Ibnu `Abbaas (radhiyallahu `anhuma):

“Indeed Abu Bakr and `Umar (radhiyallahu `anhuma) were more knowledgeable about the Sunnah of Rasoolullah sallallahu alayhi wasallam than you." (Musnad Ahmad, vol. 4, pg. 132, No. 2277, Sharhu Ma`aanil Aathaar, vol. 1, pg. 423).

In a narration of Tabraani the same incident has been recorded with a slight difference. According to this version, when `Urwah (rahmatullahi `alayh) objected, Ibnu `Abbaas (radiyallahu `anhuma) said to him: “Woe be to you! Do you give preference to Abu Bakr and `Umar (radhiyallahu `anhuma) over the book of Allaah and the Sunnah of Rasoolullah Sallallahu Alayhi Wasallam.” Upon this `Urwah (rahmatullahi `alayh) replied: “They were more knowledgeable about the Book of Allaah and the Sunnah of Rasoolullah Sallallahu Alayhi Wasallam than you and I.” Ibnu Abi Mulaykah, the narrator of this incident comments: “Ibnu `Abbaas (radhiyallahu `anhuma) did not have any answer for this.” (Al-Mu`jamul Awsat, vol. 1, pg. 42, No. 21).

The answer of `Urwah (rahmatullahi `alayh) is exactly the answer to those who raise objections such as: What is the need to follow an Imaam? Is it better to follow Rasoolullah Sallallahu Alayhi Wasallam or to follow Abu Haneefah, Maalik, Shaafi`ee and Ahmad bin Hambal (rahmatullaahi alayhim)? In reply to these objections Shaykh Muhammad `Awwaamah writes: “We say to them: We are not pleased to have you as a substitute for these Imaams, as they were more knowledgeable about Rasoolullah Sallallahu Alayhi Wasallam than you.” In fact, when we say “more knowledgeable” we do not mean to draw a comparison, because there is absolutely no comparison between you and them in knowledge. And it is our ardent desire to cling onto the way of Rasoolullah Sallallahu Alayhi Wasallam that drives us to follow their understanding of the pure Sunnah.” (Atharul Hadeethish Shareef, pg. 101).

The crux of these answers is that one does not follow an Imaam in OPPOSITION to the Quraan and Sunnah. Instead, the following of an Imaam is based purely on the intention to follow the Quraan and Sunnah, and they were far more knowledgeable of the Quraan and Sunnah than anyone in this era.



ANSWER THROUGH AN EXAMPLE:

Another simple answer to these types of questions could easily be understood from a common day to day situation. Take the example of a close relative who requires a triple bypass or needs to undergo a major operation. Will an unqualified relative ever dare to research the procedure of that operation and carry it out by himself? The answer is obvious. Rather, he will employ the services of the greatest expert in that field. Why? Since the well being of our dear one means much to us. If our Deen is beloved to us, then this should be our attitude with regards to the matters of Deen as well.
sumber Madrasah Taaleemuddeen, Isipingo Beach

Thursday, July 15, 2010

Peringatan Untuk Pendakwah

Hadis Rasulullah saw. Yang berbunyi :

Ertinya: “Daripada Abu Hurairah ra. Bahawasanya Rasulullah saw. Bersabda : “Jika ada seseorang berkata : “orang ramai (sekarang ini) sudah rosak”, maka orang yang berkata itu sendiri yang paling rosak di antara mereka.”(HR. Muslim)


Imam Nawawi ra. Ketika menulis hadis ini dalam kitab Riyadhus shalihin beliau memberikan penjelasan seperti berikut :

“Larangan semacam di atas itu(larangan berkata bahawa orang ramai telah rosak) adalah untuk orang yang mengatakan sedemikian tadi dengan tujuan rasa bangga pada diri sendiri sebab dirinya tidak rosak, dan dengan tujuan merendahkan orang lain dan merasa dirinya lebih mulia daripada mereka. Maka yang demikian ini adalah haram”.

“Ada pun orang yang berkata seperti ini kerana ia melihat kurangnya perhatian orang ramai terhadap agama mereka serta didorong oleh perasaan sedih melihat nasib yang dialami oleh mereka dan timbul daripada perasaan cemburu terhadap agama, maka perkataan itu tidak ada salahnya”.

Oleh kerana itu, apabila kita cuba mengaitkan hadis-hadis tersebut dengan reality umat islam dewasa ini, maka janganlah kita merasa bangga dan ‘ujub dengan diri kita sendiri, bahkan hendaklah kita menegur diri kita masing-masing dan jangan suka menuding orang lain. Jadi, apabila kerosakan moral umat islam dewasa ini yang diketengahkan, maka biarlah pendedahan itu di dalam bentuk yang sihat dan dengan perasaan belas kasihan dan rasa cemburu terhadap agama, bukan dengan perasaan bangga diri dan memandang rendah kepada orang lain.


Rujukan : Muqaddimah 40 Hadis Peristiwa Akhir Zaman – Abu Ali Al-Banjari An-Nadwi Al-Maliki