Thursday, March 31, 2011

HADITS DHO’IF

Hadits Dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum
matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif merupakan hal yang diperbolehkan
oleh para Ulama Muhadditsin,


Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak
sepantasnya kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak
pembagiannya,


Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan
berlandaskan dengan hadits dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita
dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama
Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa
berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan
hukum thaharah.


Hadits dhoif ini banyak pembagiannya, sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi
81 bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya
dalam 42 bagian, namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan
hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib, inilah pendapat yang
mu’tamad, namun tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada
hadits palsu.


Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada
matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu
dinamai hadits munkar, atau mardud, Batil, maka tidak sepantasnya kita
menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan
(menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai
ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan
keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu
berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur.


Rasulullah SAW bersabda : "Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku
maka hendaknya ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari
hadits no.110),


Sabda beliau SAW pula : "sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama
seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap
mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.1229),


Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif
berarti mereka melarang sebagian ucapan / sunnah Rasul saw, dan mendustakan
ucapan Rasul saw.


Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa hukum hadits dan Ilmu hadits itu tak ada di zaman
Rasulullah saw, ilmu hadits itu adalah Bid'ah hasanah, baru ada sejak Tabi'in, mereka
membuat syarat perawi hadits, mereka membuat kategori periwayat yang hilang dan
tak dikenal, namun mereka sangat berhati hati karena mereka mengerti hukum, bila
mereka salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak ummat hingga akhir zaman
dalam kekufuran, maka tak sembarang orang menjadi muhaddits, lain dengan mereka
ini yang dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah saw.


Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang
mengaku ngaku sebagai pakar hadits, seorang ahli hadits mestilah telah mencapai
derajat Alhafidh, alhafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100 ribu hadits
berikut hukum sanad dan matannya, sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya
sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum
matannya, lalu bagaimana dengan yang hafal 100 ribu hadits?.


Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang disebut Alhujjah, yaitu yang hafal 300
ribu hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang disebut
: Hakim, yaitu yang pakar hadits yang sudah melewati derajat Ahafidh dan Alhujjah,
dan mereka memahami banyak lagi hadits hadits yang teriwayatkan.
(Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al
Atsqalaniy).


sumber : Kenalilah Aqidahmu - Habib Munzir Musawa

Wednesday, March 30, 2011

Kalam/perkataan Imam Syafie Yang Disalah gunakan

Imam Syafie ada menyatakan :

Apabila hadith itu sahih maka itulah mazhabku


Penjelasan :

Apa yang telah diucapkan oleh Imam Asy Syafie bahawa bila hadith itu sahih maka itulah mazhabnya. Ini bukan bererti bahawa kalau melihat suatu hadith sahih seseorang itu boleh menyatakan bahawa itu adalah mazhab syafie dan boleh diamalkan menurut zahirnya.

Apa yang tersebut di atas hanya ditujukan bagi orang yang sudah mencapai darjat ijtihad dalam mazhab Syafie sebagaimana telah kami terangkan sifat-sifatnya atau yang mendekati sifat tersebut.

Adapun syaratnya ialah ia harus mempunyai sangkaan yang kuat bahawa Imam Syafie rahimahuLLah belum pernah menemukan hadith tersebut atau tidak mengetahui kalau hadith itu sahih.

Untuk mengetahui hal ini, ia harus menelaah semua kitab Imam Asy Syafie dan kitab-kitab para ulama pengikutnya. Sudah tentu syarat ini sangat sulit dan jarang dapat dipenuhi. Adapun diisyaratkan demikian kerena Imam Syafie RahimahuLLah sendiri sering meninggalkan (tidak mengamalkan) hadith-hadith yang telah dilihat dan diketahuinya dan menurut pendapatnya bahawa hadith tersebut cacat dalam riwayatnya. atau maknanya sudah dinasakh, ditakhsis, ditakwil atau sebab lainnya.

Al Majmu' Syarah Al Muhazzab, Jilid I, hlm 64.

Friday, March 18, 2011

Wanita Keluar untuk Berjihad disamping lelaki

Wanita-wanita yang keluar bersama itu adalah untuk merawat pejuang-pejuang yang luka dan memberi minum kepada mereka yang kehausan. Ini telahpun thabit adanya dalam hadith sahih, terdapat wanita-wanita dalam beberapa ghazwah. Namun kehadiran mereka bukan untuk bertarung, tidak thabit dalam sunnah, walaupun imam bukhari menyebutkannya dalam “kitabul-jihad” dalam bab “Ghazwah-Nisa’ wa Qitaluha ma’ar rijal”, di mana hadith-hadith dalam bab itu tidak pun menyebutkan wanita-wanita mengambil bahagian bertempur bersama orang-orang lelaki. Ibn Hajar mengulas perkara ini katanya : “Saya tidak dapati satu hadith pun (yakni dari hadith-hadith yang terdapat dalam bab tersebut) kenyataan yang menunjukkan wanita-wanita bertempur”.(Fathul Bari)



Adapun yang disebutkan oleh para fuqaha’ dalam hokum wanita keluar berperang itu ialah sekiranya musuh telah menceroboh dan menyerang negeri muslimin – maka wajiblah semua penduduk negeri itu termasuk wanita-wanitanya, berperang untuk mempertahankannya. Itupun setelah diteliti dan mempastikan berbuat demikian, maka barulah harus, jika tidak maka tidak disyariatkan.(Mughnil Muhtaj)



Adapun ‘Ummu Salim yang membawa khanjar seperti kisah Ghazwah Hunain itu hanya untuk mempertahankan dirinya semata-mata seperti katanya sendiri(*Khanjar yang saya bawa ini kiranya ada sesiapa Musyrikin yang hampir kepada saya, akan saya buraikan perutnya dengan khanjar ini).


Mengenai masalah ini juga terdapat hadith yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya daripada ‘Aishah bahawa beliau telah meminta izin daripada Rasulullah untuk mengambil bahagian dalam jihad (perang). Lalu jawab Rasulullah : “Jihad kamu (orang-orang perempuan) ialah mengerjakan haji”. Maksud jihad yang diminta oleh ‘Aishah itu ialah mengambil bahagian dalam pertempuran atau berbunuhan tetapi tidak dibenarkan oleh Rasulullah. Sebaliknya mereka dibenarkan (disyariatkan) hadhir dalam peperangan ialah untuk merawat orang-orang luka atau memberi perkhidmatan yang seumpamanya, itupun bila sudah cukup syarat-syaratnya, mengikut kata sepakat para ulama. Wanita yang keluar bersama lelaki untuk berjihad perang disyaratkan dalam keadaan bertudung, terkawal dengan lengkap. Juga hendaklah keluarnya itu kerana hajatnya yang hakiki untuk itu, jika tidak keluarnya itu boleh membawa kepada terjatuhnya ke dalam perkara-perkara yang diharamkan.


Yang penting untuk anda tahu, bahawa ‘Ahkamul-Islamiyyah’(hukum-hukum Islam) mempunyai hubungan kait mengait antara satu dengan yang lain. Oleh itu tidaklah sepatutnya dipilih hokum yang disetujui oleh kehendak-kehendak nafsu sahaja untuk sebab-sebab yang tertentu dengan mengenepikan hokum dan kewajiban yang lain yang ada kaitan dan hubungan dengannya. Langkah seperti itu adalah salah. Malah tepat menjadi sasaran teguran Allah dalam firmannya,


‘Apakah kamu beriman dengan sebahagian (ayat) kitab sahaja, dan kamu kufurkan (engkar) terhadap sebahagian (ayat yang lainnya)? Maka balasannya terhadap orang-orang yang berbuat begitu dalam kalangan kamu tidak lain daripada kecelaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Qiamat mereka ditolakkan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak (sekali-kali) lalai dari apa yang kamu lakukan’(Surah Al-Baqarah: ayat 85)



Di antara penyelewengan dan putar belit penipuan yang buruk sekali terhadap ugama Allah yang sengaja dilakukan oleh setengah-setengah manusia untuk beberapa tujuan dan kehendak-kehendak keduniaan yang tidak bernilai, ialah memetik Fatwa Syar’iyyah yang diminta dari mereka. Lalu mereka pun memotong dan membuang segala kaedah dan syarat dan apa saja yang berkaitan untuk menyempurnakan hukum yang difatwakan, hingga terbitlah hukum yang difatwakan itu sesuai dan sejajar dengan yang diminta darinya. Hal yang demikian sering berlaku kerana mereka tunduk kepada kehendak-kehendak nafsu orang-orang tertentu.



Kemudian mereka pun mengemukakan fatwa-fatwa itu dengan cara paling licin tetapi bersifat munafiq!...



Rujukan : Fiqh Al-Sirah ~ Syeikh Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Bouti



Nota: orang awam jangan pula pandai2 nak tuduh ulama tu munafiq, ulama tu su’, ulama dunia la…itu kerja ulama…hanya ulama yang lain sahaja boleh mengemukakan perkara itu kerana mereka ada neraca untuk mengukur…dibawah ini disertakan hadis2 mengenai jihad wanita…



Thabarani memberitakan dari Ummu Sulaim ra. dia berkata: Pernah Rasulullah SAW keluar berjihad dan ikut bersamanya sebilangan kaum wanita dari kaum Anshar, maka merekalah yang memberikan minum kepada orang-orang yang sakit, memberi obat kepada orang-orang yang luka-luka. (Majmauz-Zawa'id 5:324)



Muslim dan Termidzi telah memberitakan dari Anas ra. dia berkata: Pernah Rasulullah SAW keluar berjihad dengan membawa Ummu Sulaim ra. dan beberapa orang wanita dari kaum Anshar yang ditugaskan untuk menyediakan air minum dan menguruskan orang-orang yang luka-luka dalam peperangan.



Bukhari telah mengeluarkan berita dari Ar-Rabik binti Mu'awwidz ra. dia berkata: Kami pernah ikut Nabi SAW keluar berjihad, lalu kamilah yang menguruskan luka-luka para pejuang, dan mengangkat orang-orang yang gugur syahid ke kemah kami. Suatu berita lain darinya juga, katanya: Kami pernah keluar dengan Nabi SAW ke medan perang, dan kamilah yang memberikan minum kepada para pejuang, menguruskan semua keperluan mereka, dan mengangkat mereka yang mati terbunuh atau yang luka kembali ke Madinah.



Imam Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummu Athiyah Al-Anshariyah ra. dia berkata: Aku pernah keluar belihad bersama-sama Rasulullah SAW sebanyak tujuh peperangan, aku menjaga kemah-kemah mereka, memasak makanan buat mereka, mengobati orang-orang yang luka, dan membantu orang- orang tua yang sudah tidak terdaya lagi. (Al-Muntaqa)



Thabarani meriwayatkan dari Laila Al-Ghifariyah ra. dia berkata: Aku pernah keluar berjihad bersama Rasulullah SAW dan aku mengobati orang-orang yang luka. (Maima'uz-Zawa'id 5:32,4)



Bukhari telah memberitakan dari Anas ra. dia berkata: Pada hari peperangan Uhud ramai orang Islam yang terkocar-kacir dan terpisah dari Nabi SAW Dan aku lihat Aisyah binti Abu Bakar rha dan Ummu Sulaim rha. tergesa-gesa membawa kantung Qirbah (terbuat dari kulit kambing) yang berisi air, memberi minum orang-orang yang dahaga dalam pertempuran itu. Sesudah habis mereka pergi lagi mengisi air dan memberi minum kepada tentara Islam yang berperang itu. (Baihaqi 9:30)



Bukhari telah memberitakan dari Tsaklabah bin Abu Malik ra. bahwa Umar bin Al-Khatthab ra. telah membagi-bagikan kain antara kaum wanita, dan ada sisa sepotong kain yang agak baik sedikit, maka berkata orang-orang yang di sisi Khalifah Umar ra.: Wahai Amirul Mukminin! Kain potong yang lebih ini berikanlah kepada cucunda Rasulullah SAW yang menjadi isterimu - maksudnya Ummu Kultsum binti Ali ra. Tetapi mereka dijawab oleh Khalifah Umar ra.: Ummu Sulaith lebih berhak darinya (Ummu Kultsum), dan Ummu Sulaim seorang wanita Anshar, di antara yang membaiat Rasulullah SAW. Tambah Umar ra. lagi: Karena dia pernah memberi kita minum pada hari peperangan Uhud. (Kanzul Ummal 7:97)



Thabarani telah memberitakan dari Ummi Kabsyah ra. yaitu seorang wanita dari suku kaum Adzirah, yakni Adzirah Bani Qudha'ah, bahwa dia telah berkata: "Wahai Rasulullah! Bolehkah tidak aku keluar berjihad dengan tentera ini dan itu?" tanya Ummi Kabsyah. "Tidak boleh!" jawab Beliau pendek saja. "Aku bukan hendak berperang, tetapi aku dapat menolong mengobati orang yang luka, yang sakit, atau barangkali dapat memberi minum orang yang sakit dan mengurusnya!", pinta Ummi Kabsyah lagi. "Kalaulah tidak nanti orang ramai heboh mengatakan si fulanah itu keluar berperang, niscaya aku akan mengizinkanmu", jawab Nabi SAW. "Tetapi sebaiknya, engkau tinggal di rumah saja!" pesan Nabi SAW lagi. (Majma'uz-Zawa'id 5:323)



Bazzar telah memberitakan dari Abdullah bin Abbas ra. dia berkata: Dalam suatu peristiwa telah datang seorang wanita kepada Nabi SAW sebagai wakil dari kaum wanita lain, lalu berbicara kepada Beliau, katanya: "Wahai Rasulullah! Aku ini sebagai utusan dari kaum wanita untuk bertanya tentang jihad. Dia telah diwajibkan ke atas kaum lelaki saja, jika mereka mendapat kemenangan akan diberikan pahala yang besar, dan jika mereka terbunuh dianggap hidup di sisi Tuhan mereka dengan diberikan berbagai-bagai rezeki dan kurnia. Kami kaum wanita yang bersusah payah mengurus segala keperluan mereka apa yang kami dapat?!"

Jawab Nabi SAW: "Sampaikanlah berita ini kepada siapa saja yang engkau temui dari kaum wanita, bahwa taat kepada suami dan mengakui hak suami itu adalah setimpal dengan pahala jihad, malangnya sangat sedikit di antara kamu yang dapat melaksanakannya". (Riwayat Bazzar)



Manakala Thabarani meriwayatkan cerita yang sama, tetapi sedikit panjang dari yang di atas tadi, katanya: Kemudian telah datang kepada Nabi SAW seorang wanita, lalu berkata: "Aku ini adalah utusan kaum wanita yang diutus kepadamu, dan siapa saja di antara mereka, yang tahu ataupun yang tidak tahu, semua mereka inginkan aku datang kepadamu dan berbicara denganmu. Bukankah Allah itu Tuhan kaum lelaki dan kaum wanita, dan engkau pula adalah Utusan Allah kepada kaum lelaki dan kaum wanita?! Allah telah mewajibkan jibad ke atas kaum lelaki, maka jika mereka menang mereka diberikan pahala yang besar, dan jika mereka mati syahid mereka akan tinggal di sisi Tuhan, mereka menikmati rezeki dan kurnia-Nya. Apa yang dapat menyamai pahala amalan mereka itu dari ketaaatan kami kepada mereka?"

Jawab Nabi SAW: "Bila kaum wanita itu mentaati suami mereka, dan mengenal hak-haknya. Tetapi malangnya, sangat sedikit sekali mereka yang dapat berbuat seperti itu". (At-Targhib Wat-Tarhib 3:336)



Rujukan : Hayatus Sahabah ~ Syeikh Maulana Muhammad Yusuf Al-Khandahlawi

Wednesday, March 16, 2011

Manner of standing in the saff (rows of the jamaah)


It is established from several ahadith that the saff (row) should be absolutely straight and no gaps should be left between the musallis (worshippers). However, some people insist on spreading their feet and standing in such a manner that their ankles touch the ankles of their neighbour. What is the reality of standing in this fashion?


Those who stand in this way base their practice upon a hadith narrated by Nu’maan bin Basheer (radhiallahu anhu). He says: "Once Rasulullah (sallallahu alaihi wa sallam) faced us and said: "Straighten your rows". He repeated this thrice. He then said: "By Allah, you must most certainly straighten your rows or else Allah Ta’ala will disunite your hearts". Hazrat Nu’maan bin Basheer (radhiallahu anhu) says: "I then saw the people joining together their shoulders and ankles". [Abu Dawood, Sahih ibn Khuzaima]


The concluding statement of Hazrat Nu’maan (radhiallahu anhu) is also reported in Sahih Bukhari.


However, upon analysing this hadith, several points come to light: Firstly, Rasulullah (sallallahu alaihi wa sallam) never commanded the joining of the ankles. No hadith has yet been found wherein Rasulullah (sallallahu alaihi wa sallam) himself instructed the Sahaaba (radhiallahu anhu) to join their ankles. The Sahaaba (radhiallahu anhu) had themselves adopted this manner in order to fulfil the command of straightening the saff. Secondly, this hadithradhiallahu anhu) saw the Sahaaba (radhiallahu anhu) doing this PRIOR to the commencement of the salaah. There is no mention of this position being maintained even after the salaah had commenced. Therefore we find that great muhadditheen such as Hafiz ibn Hajar (R.A.) and Allama Shawkani (R.A.) have regarded this as an extreme measure which was occasionally adopted by the Sahaaba (radhiallahu anhu) to ensure that the saff is straight. clearly mentions that Nu’maan bin Basheer (


In fact, a hadith of Hazrat Anas (radhiallahu anhu) makes it absolutely clear that this practice was merely a measure adopted BEFORE the salaah to ensure the straightening of the saff. He says: "If I had to do that (join the ankles) with anyone of them (the taabi’een) today, they would run like wild mules". [Fath al-Bari, Vol.2, pg.176]


This simply means that the taabi’een severely disliked that anybody should join their ankles with them. Several points are understood from this: Firstly, Hazrat Anas (radhiallahu anhu) had stopped doing this completely. Had this been a sunnah and not just a manner of ensuring that the saff was straight, it is impossible that Hazrat Anas (radhiallahu anhu) would have left it out merely upon somebody disliking it.


Secondly, the taabi’een would never have disliked it if they had observed many of the Sahaaba (radhiallahu anhum) continuously practicing upon this. It was only due to the fact that they had not generally observed the Sahaaba (radhiallahu anhum) adopting this procedure that they disliked it. Hence this makes it crystal clear that the Sahaaba (radhiallahu anhum) had only occasionally adopted this practice to ensure the straightening of the saff. It was not a sunnah in itself, otherwise they would never have left it out.


It has already been made clear that Rasulullah (sallallahu alaihi wa sallam) never himself instructed the joining of the ankles, nor is there any mention of the Sahaaba (radhiallahu anhum) having maintained this position even IN salaah. However, if for a moment we do accept that this position must be adopted during the course of the salaah as well, the question is: In which posture of salaah must this position be maintained? Must it be maintained during qiyaam, ruku, sajdah and qa’dah or in only some of these postures? If one says that the ankles should be joined only in the qiyaam posture, on what basis were the other postures excluded? If it is argued that it is difficult to do so in ruku and sajdah, the same could be said for qiyaam, since to stand with one’s feet spread apart is naturally awkward and hence it presents a certain amount of difficulty and uneasiness for many people. In short, this practice is not established as a sunnah of salaah. It was merely adopted initially by the Sahaaba (radiallahu anhum) BEFORE the commencement of salaah to ensure that the rows are straight.


And Allah Ta’ala Knows Best.


Reference : The Method of Salaah in the Light of Authentic Ahadith by Shaikh Muhammad Ilyas Faisal Madina of al-Munawwara. Translated By Maulana Abdul Qadir Vawda (Madrasah Taleemuddeen), http://alhaadi.org.za


Shaafi Math-hab

According to the Shaafi Math-hab, the gap between the feet should be one hand. It is Makrooh to spread the feet wider than this.( THE FEET IN SALAAT A SALAFI ERROR BY MAJLIS UL ULAMA SOUTH AFRICA)



Sunday, March 13, 2011

Ghazwa-e-Hind?

Thawban (RA) narrates that the Messenger of Allah (sallallahu 'alaihi wa sallam) said, "Two groups of my Ummah Allah has protected from the Hellfire: a group that will conquer India and a group that will be with 'Eessa son of Maryam (AS)" (Nasai & also mentioned in Ahmed & Tabarani.).


Na'im b. Hammad in al-Fitan reports that Abu Hurayrah, radhiAllaahu 'anhu, said that the Messenger of Allah, sallallahu 'alayhi wa sallam, mentioned India and said, "A group of you will conquer India, Allah will open for them [India] until they come with its kings chained - Allah having forgiven their sins - when they return back [from India], they will find Ibn Maryam in Syria." (Kanzul-Ummal)


Abu Hurayrah (RA) said, "The Messenger of Allah (sallallahu 'alaihi wa sallam) promised us the conquest of India. If I was to come across that I will spend my soul and wealth. If I am killed then I am among the best of martyrs. And if I return then I am Abu Hurayrah (RA) the freed." (Nasai & also mentioned in Ahmed & Hakim.).


Is anybody know about this Ghazwa? i want to know more about this....

Saturday, March 12, 2011

Kenikmatan Syurga

Saidina Anas radhiallahu anhu berkata, Saidina Rasulullah salallahu alaihi wassallam bersabda, “Jika seorang perempuan dari kalangan wanita syurga menjeling kearah dunia, ia akan menerangi segala sesuatu di antara langit dan bumi. Ia akan juga memenuhinya dengan haruman. Penutup yang terdapat di atas kepalanya lebih baik dari dunia dan seisinya.”(Bukhari, Mishkat)


Saidina Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, saidina Rasulullah salallahu alaihi wassalam bersabda : “terdapat sebatang pokok di dalam syurga yang di mana seorang penunggang (kuda) yang terpantas tidak dapat sampai ke penghujung bayangnya selama seratus tahun.”(Mutaffaqun alaihi, Mishkaat)


Saidina Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, daku berkata: “wahai Rasulullah, bagaimanakah bentuk syurga nanti? Baginda bersabda : “satu bata daripada emas dan satu yang lain(berselang seli) dari perak. Ikatannya terdiri daripada kasturi yang suci, batu kerikilnya daripada mutiara dan yakut, dan tanahnya daripada za’faran.”(Ahmad, Tirmizi, Darimi, Mishkaat)


Saidina Abu Hurairah radhiallahu anhu juga meriwayatkan bahawa Saidina Rasulullah salallahu alaihi wassallam bersabda : “tiada satu pokok pun di dalam syurga, melainkan dahan-dahannya terdiri daripada emas.”(tirmizi, mishkaat)


Saidina Rasulullah salallahu alaihi wassallam bersabda : “terdapat mahkota pada penghuni syurga, jenis mutiara yang paling biasa akan bergemerlapan di antara timur dan barat.”(tirmizi, mishkaat)


Saidina Hakim bin Muawiyah radhiallahu anhu berkata, Saidina Rasulullah salallahu alaihi wassallam bersabda : “di dalam syurga terdapat lautan air, lautan madu, lautan susu dan lautan arak. Dari ini (lautan-lautan) mengalirnya sungai-sungai.”(Tirmizi, Mishkaat)


Saidina Jabir rahiallahu anhu melaporkan dari Nabi salallahu alaihi wassallam bahawa : “penghuni syurga akan menikmati rahmat dan kenikmatan. Tiba-tiba, satu nur(cahaya) akan naik di hadapan mereka. Mereka akan mengangkat kepala dan melihat Allahu subhanahu wataala tajalli di hadapan mereka. Akan dikatakan : “Assalamualaikum wahai penghuni syurga”. Ini juga merupakan tafsir ayat: “Ucapan dari Tuhan yang Maha Pengasih (kepada mereka) ialah: Salam!(surah yaasin:57) Allah taala akan melihat mereka dan mereka akan melihat Allah taala. Semasa mereka melihat wajah Allah taala mereka tidak akan memandang kearah nikmat yang lain dan keredhaan hingga Dia menutup hijab Dirinya. Nur (cahaya)nya akan tetap berkekalan.”(Ibnu Majah, Mishkaat)


Rujukan : Rindu Kepada Akhirat - Maulana Ashraf Ali Thanwi (rah.)

Sunday, March 6, 2011

Keluarga Kandahlawi (Keturunan Abu Bakar ra.)

Cak Nur (almarhum Nurcholis Madjid), terlepas dari pro-kontra pemikirannya, adalah seorang yang cukup banyak melakukan kajian terhadap pemikiran Islam di India dan Persia. Dalam suatu kesempatan, Cak Nur pernah bercerita bahwa di wilayah Anak Benua India masih banyak terdapat orang-orang yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk agama, mengkaji dan menulis kitab, berdakwah, melakukan latihan-latihan ruhani dan berbagai aktifitas keagamaan lainnya. Cak Nur tidak menyebut satu nama atau keluarga ketika memberikan paparan tersebut.


Ada beberapa nama yang menonjol dalam pengabdian ini, salah satunya adalah keluarga Kandhlah. Keluarga ini sejak berabad-abad yang lalu terkenal sebagai keluarga yang memberikan pengorbanan diri, harta dan jiwanya demi agama.Syaikh Abul Hasan Ali Nadwi dalam kitab “Halaat Masyaikh Kandhlah” bercerita cukup panjang lebar tentang keluarga ini.


“Di seluruh Hindustan (India) demikian banyak alim ulama, shalihin,ahlullah, yang memiliki keutamaan dalam sifat, ilmu, akhlak, kesalehan, kecerdasan, kesungguhan dan kedekatan mereka kepada Allah. Namun di antara mereka terdapat satu keluarga yang benar-benar istimewa dalam pengkhidmatan mereka terhadap agama, yaitu keluarga Jhanjanah dan Kandhlah, keduanya dari wilayah Muzhaffar Nagar. Mereka adalah keluarga Shiddiqi (keturunan sahabat Abu Bakar asshshidiq).


Senantiasa lahir dari keluarga mereka dalam setiap zaman, alim ulama, fudhala, auliya yang demikian istimewa. Dalam setiap pergerakan agama, mereka senantiasa menjadi tokoh terdepan. Waktu-waktu mereka banyak digunakan hanya untuk agama, sehingga hampir dipastikan keseluruhan mereka menjadi faqih, mufti, ulama, sufi, ahli sunnah, ahli ruhaniyah, syaikhul akhlak selama berabad-abad (dari abad VIII hingga abad XV Hijriah ini). Mereka lah yang terkenal dalam perjuangan dan pentablighan iman, ilmu, tasawuf, fiqih dan sebagainya.”


Kegairahan dalam mereka dalam bidang agama ini tidak hanya terdapat di kalangan kaum lelaki saja, kegairahan yang tak kalah hebat juga terdapat di kalangan kaum wanitanya, juga di kalangan anak-anak mereka.


Dalam risalah yang lain, Syaikh Abul Hasan Ali Nadwi juga menulis, ” Dari mereka (keluarga Kandahlawi) lahir lebih dari 4.000 ulama, muallimin, dai, mushonif, qadhi, mufti, auliya. Semua lahan perjuangan agama, mereka lah yang menguasainya”.


Dalam kitab Sirat Syaikh Muhammad Yahya juga ditulis kesaksian tentang keluarga ini. “Keluarga ini benar-benar dirahmati oleh Allah. Tidak diragukan lagi mengenai kaum lelakinya, namun sungguh tidak jauh berbeda keadaan kaum wanitanya. Rumah-rumah mereka senantiasa berisikan cahaya-cahaya amalan dan ketakwaan, sehingga dalam kurun waktu yang sangat panjang, berabad-abad lamanya, rumah-rumah Kandhlah telah menjadi markaz agama. Hampir dipastikan rumah-rumah mereka menjadi saksi bagaimana para penghuninya senantiasa sibuk dengan shalat-shalat sunnah, tilawah Alquran, dzikrullah. Dan anak-anak mereka senantiasa dalam didikan sunnah. Khususnya pada bulan ramadhan, akan terlihat suatu pemandangan ajaib dan luar biasa, dimana kaum wanita berlomba-lomba mengkhatamkan Alquran setiap harinya secara hafalan, sehingga ribuan Alquran dapat dikhatamkan dalam sekali sebulan di kampung Kandhlah”.


Beberapa nama yang kita kenal dari keluarga ini antara lain ; Maulana Muhammad Ismail, Maulana Muhammad Yahya, Maulana Muhammad Ilyas, Maulana Yusuf,Maulana Inamul Hasan, Maulana Zakariya, Maulana Idris, Maulana Ihtisyamul Hasan, Maulana Harun, Maulana Talha dan masih banyak lagi yang lainnya, termasuk yang sekarang menjadi penanggungjawab di Markaz Dakwah Nizamuddin India, Maulana Saad Kandahlawi.


sumber


*saya bukan taksub ataupun mengalihkan pandangan manusia dengan dakwah kepada makhluk-makhluk Allah di India sana, yang ingin saya sampaikan disini kepada orang yang selalu mempertikai ulama-ulama ini. Ketahuilah mereka ini keturunan yang terjaga dan dari keturunan sahabat-sahabat. Masih banyak lagi ulama india yang berketurunan Nabi saw, sahabat-sahabat seperti ayyub al ansari ra., dan lain-lain lagi. Allah menjaga keturunan mereka sehingga hari ini.