Tuesday, June 29, 2010

Nafsu Syahwat ( Petikan dari hikmah perkahwinan dalam Ihya Ulumiddin )

Nafsu Syahwat itu, apabila mengeras dan tidak dapat disanggah oleh kekuatan taqwa, niscaya dapat menghela kepada perbuatan keji. Dan kepadanyalah, ditunjukkan oleh Nabi saw. Dengan sabdanya dari Allah ta’ala :

Artinya : “kalau tidak engkau perbuat pula begitu, niscaya fitnah dibumi dan kerusakan besar” Al anfal 73.

Dan kalau dapat dipukul dengan pukulan ke-taqwa-an, maka kesudahannya, dapatlah mencegah anggota-anggota badan daripada memperkenankan ajakan nafsu-syahwat itu. Lalu terpicinglah mata dan terpeliharalah kemaluan.

…tetapi sentiasalah nafsu itu menarik dan membisikkan kepadanya dengan berbagai keadaan bersetubuh. Dan tidak jemu-jemulah setan pengganggu itu dalam sebahagian besar waktunya.
Kadang-kadang yang demikian itu datang kepadanya dalam shalat. Sehingga terguris dihatinya dari hal keadaan bersetubuh itu, sesuatu gurisan, kalaulah kiranya diterangkannya dihadapan orang yang paling hina sekalipun, niscaya ia akan malu. Dan Allah ta’ala melihat kepada hatinya. Dan hati itu terhadap Allah, adalah seperti lisan terhadap makhluk. Dan pokok segala pekerjaan bagi seseorang yang berkehendak menjalani jalan akhirat, ialah hatinya. Dan rajin berpuasa itu, tidaklah menghilangkan benda gangguan pada kebanyakan orang. Kecuali ditambahkan kepadanya kelemahan badan dan kerusakan pada sifatnya.

Karena itulah Ibnu Abbas ra. Berkata : “tidak sempurnalah ibadah orang yang melakukan hajji, kecuali dengan kawin.”

Ini adalah percobaan umum, sedikitlah orang yang terlepas daripadanya dan Qatadah berkata tentang arti firman Allah ta’ala :

Artinya : “ janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak bias kami pikul.” S. Al baqarah ayat 286, yaitu : kerasnya nafsu syahwat.

Dari Akramah dan Mujahid, yang mana keduanya mengatakan, tentang arti firman Allah ta’ala :
Artinya : “ dan manusia itu dijadikan bersifat lemah” S. An nisa’ ayat 28, ialah bahwa manusia itu tidak sabar terhadap perempuan.

Berkata Fayyadl bin Nujaih: “ Apabila bangunlah kemaluan lelaki, niscaya hilanglah duapertiga akalnya”. Setengah mereka mengatakan : “hilanglah sepertiga agamanya”.

Dan pada penafsiran yang tidak begitu sering terdengar (nawadiru’t-tafsir) dari ibnu Abbas ra. Tentang firman Allah ta’ala :

Artinya : “Dan dari kegelapan(malam) ketika ia datang” s. al falaq ayat 3, yaitu kata ibnu Abbas : bangunnya kemaluan lelaki. Ini adalah bahaya yang sering terjadi, apabila menggelagak, yang tidak dapat dilawan oleh akal pikiran dan agama. Dan nafsu syahwat itu, sedang dia adalah lebih baik, untuk pendorong kepada kehidupan-dunia dan akhirat- …maka nafsu syahwat itu, adalah yang terkuat alat setan terhadap anak adam. Dan kepadanyalah diisyaratkan oleh Nabi saw. Dengan sabdanya : “tidaklah aku melihat dari wanita-wanita yang kurang akal dan agama, yang lebih mempengaruhi orang-orang yang berakal pikiran, daripada engkau sekalian”(HR Muslim)

Dan itu sesungguhnya, adalah karena bergeloranya nafsu-syahwat. Dan Nabi saw. Mengucapkan do’anya:

Artinya : :Wahai Allah Tuhanku! Sesungguhnya aku berlindung dengan Engkau dari kejahatan pendengaranku, penglihatanku, hatiku dan kejahatan maniku!” dan beliau mendo’a :
Artinya : “Aku bermohon padaMu, kiranya Engkau mensucikan hatiku dan memeliharakan farajku(kemaluanku)”.

Maka apa yang dimohonkan perlindungan oleh Rasulullah saw. Daripadanya, lalu bagaimanakah boleh dipandang enteng(mudah) oleh orang lain?

*jauhilah zina, dan setiap perkara yang mendekatkan kepada zina maka jauhilah seperti “couple” yang telah diharamkan oleh ulama-ulama, berdua-duaan, dan banyak lagi. Adakah diri kita lebih hebat iman kita dari Nabi saw. Sendiri yang berdoa untuk dijauhkan?fikir-fikirkanlah…

*Nota kaki saya

Rujukan : Terjemahan Ihya Ulumiddin – Imam Al-Ghazali

UNTUKMU WANITA 3

Kata yang menghimpunkan tentang adab sopan santun wanita, tanpa berpanjang-panjang, ialah: bahwa wanita itu hendaklah duduk dalam rumahnya selalu ditempat jahitannya, tidak banyak naik dan menoleh, sedikit berbicara dengan tetangga. Tidak datang ketempat tetangga, selain dalam keadaan yang mengharuskan masuk ketempatnya. Menjaga kehormatan suami,ketika suami pergi dan mencari kesenangan suami dalam segala pekerjaannya. Tidak berkhianat kepada suami, tentang dirinya dan hartanya sang suami. Ia tidak keluar dari rumahnya, selain dengan seizin suami. Kalau ia keluar dengan keizinannya, maka ia menyembunyikan diri dalam keadaan kusut –musut, mencari tempat-tempat yang sunyi, tidak jalan besar dan pasar-pasar. Ia menjaga, agar tamu tidak mendengar suaranya atau mengenal dirinya. Jangan ia perkenalkan kepada teman suaminya, tentang hajat keperluannya. Bahkan hendaknya ia membantah terhadap orang, yang sangkanya, bahwa orang itu mengetahui akan hajat keperluannya atau dia mengenal akan orang itu.

Cita-citanya, ialah memperbaiki keadaan dirinya, mengatur rumah-tangganya, menghadapkan hati kepada shalat dan puasanya. Apabila teman suaminya meminta keizinan sesuatu dipintu, sedang suaminya tidak turut hadir, maka janganlah ia menanyakan ini dan itu dengan mereka. Dan janganlah membiasakan berkata-kata dengan dia, untuk menjaga kecemburuan dirinya dan suaminya!
(Ihya ulumiddin-imam al-ghazali,jilid 2,ialah pandangan tentang hak-hak suami atas isteri.)


Jikalau ada wanita-wanita islam yang mempunyai kebolehan yang luar biasa atau tenaga yang lebih, setelah menyelesaikan urusan-urusan rumahtangganya, bolehlah ia beri khidmat untuk menolong wanita-wanita sejenisnya yang perlu kepada pertolongan. Umpamanya untuk member bantuan kepada wanita-wanita yang melarat, atau menjadi guru mengajar sesame kaum wanita dalam bidang ‘ilmu yang ada manfaat untuk dunia dan akhirat, lebih-lebih lagi, ilmu fardu ain: dalam bahagian akidah, amal ibadat, akhlak atau tasawwuf, dan hukum-hukum syara’. Ia boleh mengajar di tempat yang terselindung daripada pandangan lelaki ajnabi.
(al-hijab-wan Muhammad bin wan Muhammad ‘ali , percetakan watan,1980)

Setimpal Pahala Berjihad

Thabarani telah memberitakan dari Ummi Kabsyah ra. yaitu seorang wanita dari suku kaum Adzirah, yakni Adzirah Bani Qudha'ah, bahwa dia telah berkata: "Wahai Rasulullah! Bolehkah tidak aku keluar berjihad dengan tentera ini dan itu?" tanya Ummi Kabsyah. "Tidak boleh!" jawab Beliau pendek saja. "Aku bukan hendak berperang, tetapi aku dapat menolong mengobati orang yang luka, yang sakit, atau barangkali dapat memberi minum orang yang sakit dan mengurusnya!", pinta Ummi Kabsyah lagi. "Kalaulah tidak nanti orang ramai heboh mengatakan si fulanah itu keluar berperang, niscaya aku akan mengizinkanmu", jawab Nabi SAW. "Tetapi sebaiknya, engkau tinggal di rumah saja!" pesan Nabi SAW lagi. (Majma'uz-Zawa'id 5:323)

Bazzar telah memberitakan dari Abdullah bin Abbas ra. dia berkata: Dalam suatu peristiwa telah datang seorang wanita kepada Nabi SAW sebagai wakil dari kaum wanita lain, lalu berbicara kepada Beliau, katanya: "Wahai Rasulullah! Aku ini sebagai utusan dari kaum wanita untuk bertanya tentang jihad. Dia telah diwajibkan ke atas kaum lelaki saja, jika mereka mendapat kemenangan akan diberikan pahala yang besar, dan jika mereka terbunuh dianggap hidup di sisi Tuhan mereka dengan diberikan berbagai-bagai rezeki dan kurnia. Kami kaum wanita yang bersusah payah mengurus segala keperluan mereka apa yang kami dapat?!"
Jawab Nabi SAW: "Sampaikanlah berita ini kepada siapa saja yang engkau temui dari kaum wanita, bahwa taat kepada suami dan mengakui hak suami itu adalah setimpal dengan pahala jihad, malangnya sangat sedikit di antara kamu yang dapat melaksanakannya". (Riwayat Bazzar)

Manakala Thabarani meriwayatkan cerita yang sama, tetapi sedikit panjang dari yang di atas tadi, katanya: Kemudian telah datang kepada Nabi SAW seorang wanita, lalu berkata: "Aku ini adalah utusan kaum wanita yang diutus kepadamu, dan siapa saja di antara mereka, yang tahu ataupun yang tidak tahu, semua mereka inginkan aku datang kepadamu dan berbicara denganmu. Bukankah Allah itu Tuhan kaum lelaki dan kaum wanita, dan engkau pula adalah Utusan Allah kepada kaum lelaki dan kaum wanita?! Allah telah mewajibkan jibad ke atas kaum lelaki, maka jika mereka menang mereka diberikan pahala yang besar, dan jika mereka mati syahid mereka akan tinggal di sisi Tuhan, mereka menikmati rezeki dan kurnia-Nya. Apa yang dapat menyamai pahala amalan mereka itu dari ketaaatan kami kepada mereka?"
Jawab Nabi SAW: "Bila kaum wanita itu mentaati suami mereka, dan mengenal hak-haknya. Tetapi malangnya, sangat sedikit sekali mereka yang dapat berbuat seperti itu". (At-Targhib Wat-Tarhib 3:336)